Hindu, Bali, dan “Penguasa” (catatan kajian religi 2)




Setelah bergumul dengan “agama” Hindu di India selepas era penjajahan, kali ini pergumulan “agama” Hindu berlanjut di dalam konteks masyarakat Bali. Dalam tulisan, “From Agama Hindu Bali to Agama Hindu and back : Toward a relocation of the Balinese Religion?”, Michel Picard memaparkan betapa rumitnya permasalahan antara Bali – Hindu – dan “penguasa”.


Hadirnya cabang Sarekat Islam di pulau Bali pada tahun 1917 memantik para cendikiawan Bali untuk menciptakan gerakan serupa di Singaraja. Melalui gerakan para cendikiawan ini kemudian muncullah publikasi media cetak seperti Surya Kanta dan Bali Andjana. Tetapi permasalahan justru muncul ketika media masa ini menghadirkan dua kelompok besar di Bali yang saling berbenturan secara ideologi dan kepentingan. Mereka adalah kaum Jaba (rakyat jelata) dan Triwangsa (bangsawan). Konflik yang meruncing di antara kedua belah pihak adalah mengenai adanya kasta – yang diperburuk dengan campur tangan koloni Belanda. Penerapan sistem kasta tentu menguntungkan kaum Triwangsa dan mempermudah penjajah untuk melumpuhkan Bali. Inilah yang ditentang oleh Kaum Jaba, masyarakat jelata.


Seperti halnya pergumulan bangsa India yang dijajah Inggris dalam tulisan sebelumnya, sisi liar dan mistis Bali pun ditundukkan oleh penjajah Belanda. Yang pertama adalah masalah adat. Belanda mencoba untuk menata adat Bali dengan beragam administrasi, sehingga muncullah adat Bali yang harus begini, harus begitu, sesuai dengan apa yang dikonsepkan penjajah Belanda. Dan yang kedua adalah agama. “Adat” dan “agama” adalah dua hal yang dianggap asing bagi masyarakat Bali waktu itu. Bali itu ya kehidupan bersama dengan semesta, tanpa berpikir batasan adat yang bagaimana yang harus ada. Lebih-lebih agama. Tidak ada pemisah antara adat dan agama. Tapi kolonial memaksa untuk dibedakan - demi kepentingan administrasi. Bagi orang Bali pada waktu itu tidak begitu penting masalah identitas yang mereka sandang. Tapi dari pihak penjajah, ini penting!


Tidak mudah untuk merumuskan Hindu Bali sebagai sebuah agama. Hindu Bali bukanlah agama ortodoksi yang tertata dengan adanya Kitab Suci, ajaran, nabi, ritual, dan segala tetek-bengek lainnya. Hindu Bali adalah sebuah kehidupan. Ortopraksi. Oleh karenanya untuk melayakkan sebagai sebuah “agama”, para cendekiawan pun melakukan “pencarian”. Ini seperti halnya mengurus KTP ke catatan sipil, yang disyaratkan harus ada akta lahir, harus ada surat ini dan itu... Sementara kelengkapannya sama sekali tidak dimiliki. Ya lalu diada-adakanlah yang tidak ada. Diada-adakanlah mitologi Hindu Bali, Kitab Suci, acara keagamaan, Dewa-dewi yang disembah... Semuanya serba dipaksakan sesuai dengan tata cara administrasi penguasa pada waktu itu : Belanda.


Ada cerita menark ketika ternyata ada banyak orang Hindu Bali yang mengenal kisah Mahabarata dan Ramayana bukan dari ajaran Pendeta atau dari kurikulum sekolah, tetapi justru dari sinetron India di televisi. Ini menandakan bahwa mitologi suci Mahabarata dan Ramayana bukanlah sesuatu yang mereka miliki sebagai dasar keyakinan. Mitologi suci tersebut dihadirkan dan ditanamkan dari India ke dalam kehidupan masyarakat Bali sebagai bagian dari kelengkapan sebuah agama. Dan nyatanya proses untuk menciptakan “Kitab Suci” tersebut gagal tercapai karena konteks masyarakat Bali terbentuk dari bermacam-macam Kerajaan, yang di dalamnya ada banyak mitos yang tidak bisa diseragamkan begitu saja.


Setelah masa kemerdekaan, pada jaman pemerintahan presiden Soekarno, muncullah pergumulan penamaan “agama” di Bali ini. Apakah “Hindu Bali” (seperti yang tercatat di administrasi Belanda) atau “Hindu” saja? Mempertimbangkan pengakuan negara terhadap agama yang diakui secara universal (dunia), maka presiden Soekarno pada tahun 1965 menetapkan nama agama “Hindu” sebagai nama agama yang diakui oleh negara – menanggalkan nama “Bali” yang dianggap terlalu kedaerahan. Di satu sisi hal ini disambut baik bagi umat Hindu di luar Bali, karena identitas agama mereka menjadi jelas. Tapi berdampak buruk bagi masyarakat Bali yang kehilangan bagian dari identitas mereka.


Apa yang menjadi kepercayaan mereka berkiblat kepada kerajaan Majapahit kuna sebagai cikal-bakal tumbuhnya budaya mereka, termasuk di dalamnya kepercayaan. Akan menjadi rancu ketika hanya disebut “Hindu” secara umum yang berkiblat kepada Hindu di India. Adanya para intelektual Hindu yang mengkaji Hindu India untuk diterapkan di Indonesia sebagai “standart” agama Hindu, semakin membuat kacau. Sebagai catatan saja, Hindu India sendiri masih bergumul dengan identitasnya paska-kolonial. Ke manakah Hindu di Indonesia berkiblat? Bali atau India?


Pada tanggal 28 Januari 2007 ada sebuah upaya pencarian kembali Hindu Bali yang hilang oleh para tokoh dan akademisi Hindu. Pergumulan ini belum selesai. Sama seperti banyak agama yang sudah “jadi” sekalipun masih tetap begumul dengan identitas mereka. Inilah pijakan untuk materi selanjutnya : Agama Mobilitas, Diaspora, dan Identitas.

Comments

Popular Posts