Agama dan Batas (catatan kajian religi 3)




Dalam diskusi kali ini, ada dua tulisan sebagai pijakan berefleksi. Tulisan yang pertama adalah tulisan Peggy Levitt : Redefining the Boundaries of Belonging: The Transnationalization of Religious Life yang menguraikan permasalahan agama para migran di Amerika Serikat. Sedangkan tulisan kedua adalah tulisan Michael Laffan : An Ecumene in The Lands Below The Winds, yang mengisahkan sejarah pluralitas Islam di Indonesia. Tulisan pertama menggambarkan konteks global beserta teori pendekatan yang digunakan, tulisan kedua merefleksikannya ke dalam konteks lokal: Islam di Indonesia.

Dalam membahas permasalahan agama di sini, Peggy Levitt menolak adanya pendekatan nasionalisme yang sempit. Islam bukan agama “Arab” saja, Hindu bukan agama “India” saja, dan seterusnya. Agama adalah bersifat transnasional. Fenomena ini terjadi ketika ada proses migrasi, satu orang dari negara satu hijrah ke negara yang lain dengan membawa serta ”agama”-nya. Peggy melihat Amerika Serikat adalah negara yang sangat kompleks, termasuk dalam hal agama. Hal ini terjadi secara bertahap. Tahapan yang pertama sekitar tahun 1900, para migran yang datang ke Amerika kebanyakan adalah orang-orang Eropa. Satu abad kemudian muncullah fenomena baru di mana para migran yang datang ke Amerika didominasi oleh orang-orang Asia. Pada tahap pertama ketika orang-orang Eropa datang ke Amerika, para migran terebut membawa agama yang homogen : Kristen (Protestan dan Katolik). Kedatangan para migran Eropa ini berdampak dengan merebaknya gereja-gereja di Amerika dan semakin mengukuhkan bahwa Amerika adalah negara “Kristen”.

Permasalahan mulai muncul pada saat gelombang migran selanjutnya yang sebagian besar datang dari Asia. Para migran Asia datang ke Amerika dengan beragam budaya dan agama. Kedatangan para migran ini kemudian mengubah wajah Amerika Serikat, yang tadinya negara “Kristen” menjadi negara dengan beragam agama di dalamnya. Di sinilah mulai memunculkan permasalahan “batas” agama. Mereka yang beragama Islam membentuk kelompok-kelompok yang membatasi diri mereka dari agama lain. Demikian pula agama-agama lain seperti Hindu, Budha, Yahudi, sampai agama-agama tradisional pun kemudian membentuk batasan komunitas. Di tanah perantauan inilah mereka bukan hanya mengubah nasib tetapi juga mengubah cara beragama mereka. Yang tadinya di kampung mereka beribadah tanpa “batas”, ketika hidup di perantauan mereka beragama dalam “batas” tertentu. Komunitas-komunitas agama inilah yang mengubah paradigma kaum urban tentang agama. Mereka harus menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah setempat, budaya megapolitan yang hibrid, serta batasan-batasan yang ada di dalam komunitas agama tersebut.

Identitas bagi kaum migran sangatlah penting - termasuk identitas dan simbol-simbol keagamaan. Oleh karenanya kaum migran akan sangat bangga ketika menunjukkan “aku muslim” dengan mengenakan jilbab; “aku Hindu”dengan mengenakan sari atau ikat kepala; “aku Yahudi” dengan memelihara jenggot panjang, “aku Buddha” dengan memajang patung Sang Buddha di etalase toko, dan lain sebagainya. Identitas adalah batas. Inilah yang membatasi komunitas agama satu dengan yang lain di tanah perantauan. Ketika di kampung, orang Hindu mengenakan sari, orang Islam mengucapkan assalamualaikum, orang Buddha membakar hio, adalah hal yang lumrah atau wajar. Tapi akan menjadi sebuah keistimewaan ketika itu dilakukan di tanah rantau. Semakin jelas identitasnya, semakin tinggi “batas”-nya, maka akan semakin menjadi kebanggaan.

Proses agama yang ber-transnasional tidak cukup sampai di sini. Ketika para migran nantinya kembali ke kampung halamannya, mereka akan membawa serta “agama urban” ini ke kampung dan sedikit banyak mengubah cara beragama di kampung. Michael Laffan melihat konteks Islam di Indosesia terjadi salah satunya karena pengaruh para pelajar dari tanah air yang merantau ke negara-negara Islam seperti Arab, Turki, Mesir,lalu kembali lagi dan membentuk paradigma yang baru mengenai Islam. Kemajemukan Islam di Indonesia terjadi karena beragam ajaran dari berbagai konteks di negara-negara Timur Tengah yang diserap dan dibawa masuk ke ranah lokal oleh para pelajar/mahasiswa. Oleh karenanya di dalam keberagaman tersebut diperlukan adanya ekumene, kehidupan bersama di bawah satu “payung” yaitu Islam. Ekumene itu bisa terwujud ketika adanya media pemersatu, yang pada waktu itu adalah koran dan radio.

Agama memang selalu menembus dan melintasi batas, tapi setelah itu agama pun kemudian membentuk batas-batas yang baru.

Comments

Popular Posts