Agama dan Hibriditas (Catatan Kajian Religi 4)

















Agama dan budaya seperti halnya sepasang kekasih yang saling mengenal dan mengubah. Agama berubah karena budaya demikian pula sebaliknya. Inilah yang disebut hibriditas.


Dalam bukunya yang berjudul “Polarizing Javanese Society”, M. C. Ricklefs mengisahkan bagaimana perjumpaan Islam dengan budaya Jawa yang kemudian memunculkan peta yang unik. Zoetmulder meneliti, setelah perang Jawa (1935) muncul tradisi sastra “mistis”, puisi Jawa yang di dalamnya terdapat puja-puji terhadap Tuhan yang disebut dengan “suluk”. Tradisi suluk muncul dari Kraton Yogyakarta di mana para dhalang memiliki peran besar atas terciptanya perpaduan sastra Jawa dengan agama Islam. Setelah itu, Mangkunegara IV melanjutkan tradisi kesusastraan Jawa – Islam dengan menciptakan banyak karya sastra dan juga gendhing. Salah satu yang terkenal adalah serat Wredhatama yang berisi seratus puluh (bait) tembang Macapat bertema ajaran-ajaran moral yang Islami. Tradisi sastra Jawa – Islam pun tumbuh pesat di Surakarta. Adalah Ranggawarsita, seorang Pujangga masyur dari Kraton Kasunanan yang menuliskan banyak karya sastra Jawa – Islam di kalangan Kraton.


Kraton Yogyakarta dan Surakarta memunculkan hibriditas Islam yang berjumpa dengan sastra Jawa. Di sisi yang lain pada tahun 1840 muncullah reaksi gerakan “putihan”, gerakan yang berusaha mereformasi ajaran Islam. Kata “mereformasi” ini bisa diartika membersihkan kembali aqidah Islam dari budaya sekuler, yaitu Jawa. Islam dikembalikan lagi kepada Quran dan haditz nabi. Gerakan ini kemudian memunculkan pesantren-pesantren yang berusaha menyucikan kembali ajaran Islam. Uniknya pesantren-pesantren “putihan” ini muncul di pinggiran (kota-kota kecil) sebagai perlawanan kesusastraan Islam – Jawa di Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Dari fenomena inilah Ricklefs menyebutnya dengan “polarisasi” Islam di Jawa. Kutub hibrid berada di dalam Kraton, sedangkan kutub pietis berada di “pinggiran”.


Demikianlah agama selalu memiliki dua kutub ketika berjumpa dengan budaya. Kutub tekstual dan kutub kontekstual. Ketika agama lebih melihat teks sebagai dasar kehidupan, maka terciptalah kutub tekstual. Di sisi yang lain ketika agama lebih melihat konteks budaya yang dijumpainya, maka terciptalah kutub kontekstual. Hibriditas memang kemudian memunculkan agama dengan wajah yang berbeda. Dan dalam mengubah wajah tersebut pastilah ada gesekan hingga benturan yang tak tak terhindarkan.



· Ilustrasi gambar : lukisan dari Albina Mahmadalievа berjudul “Moslem”

Comments

Popular Posts